Jumat, 20 Juli 2012

DIALOG IMANI DAN SAPAAN UKHUWAH

DIALOG IMANI DAN SAPAAN UKHUWAH

Saudaraku…

Suatu kali, kala suasana sepi jauh dari keramaian manusia, terjadi dialog menarik di antara dua sahabat senior; Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kebersamaan adalah suasana yang selalu dirindukan oleh keduanya. Ada banyak kesamaan di antara kedua sahabat ini. Sama-sama masuk Islam lewat tangan Abu Bakar. Keduanya juga termasuk sepuluh sahabat yang telah mendapat tiket masuk surga dari Nabi saw dan keduanya tergolong assabiqunal awwalun (kelompok sahabat pertama yang memeluk Islam) dari kalangan muhajirin. Dan kedua-duanya mendapat gelar khusus dari Nabi saw.

Utsman ra digelari Dzun Nurain ‘pemilik dua cahaya’ karena ia menikahi dua puteri Rasulullah saw; Ruqayyah dan Ummi Kultsum.

Sedangkan Abu Ubaidah bergelar “Aminu hadzihil ummah” pemegang amanah atau kepercayaan umat ini. Hubungan keduanya pun sangat dekat laksana saudara kandung.

Hasan Zakaria Falaifil dalam bukunya “Tharaif wa mawaqif min at tarikh al Islami” pernah menukil dialog dua sahabat agung ini.

Abu Ubaidah berkata, “Aku memiliki tiga point penting yang menjadi kelebihanku atasmu.”

Utsman berkata, “Apa saja ketiga hal itu?.”

Pertama; saat bai’atur ridhwan dilakukan, aku turut berbai’at bersama sahabat lain ketika itu sedangkan engkau tidak.”

Kedua, aku mengikuti perang Badar, sedangkan engkau tidak.”

Ketiga, aku termasuk orang yang tsabat berada di sisi Nabi saw sewaktu perang Uhud, sedangkan engkau termasuk orang yang lari tunggang langgang.”

Saudaraku..

Apakah Utsman tersinggung dan marah mendengar penuturan Abu Ubaidah ini? Apakah hatinya terluka? Apakah terlintas di hatinya perasaan dendam? Ternyata tidak, karena hatinya sebening embun pagi.

Jika kita yang tersudutkan semacam ini, tentu wajah kita berubah menjadi merah padam karena menahan marah yang membuncah. Tapi Utsman tidak demikian. Wajahnya tetap tenang dan santun seperti rembulan. Justru seulas senyum tampak menghiasi wajahnya, lalu ia berkata, “Apa yang engkau katakan adalah benar, aku tidak mengingkari ucapanmu.”

Namun Utsman perlu memberikan argumentasi perihal ketidak hadirannya di tiga moment yang sangat krusial itu.

Utsman berkata,

Pertama, sewaktu terjadi bai’atur ridhwan, aku sedang menjalankan tugas dari Nabi saw. Dan bukankah bai’at itu dilakukan untuk membelaku?.” (karena sempat tersebar issu bahwa Utsman telah dibunuh oleh kaum musyrikin Mekkah).

Kedua; ketika terjadi perang Badar, aku diminta Nabi saw menjadi walikota Madinah sementara menggantikan beliau yang memimpin pasukan Badar. Demikian pula aku diamanahi untuk merawat puteri beliau Ruqayyah (istriku) yang saat itu sakit parah hingga ia wafat dan aku juga yang menguburkannya.

Sedangkan ketiga; ketidak tsabatan-ku berada di sisi Nabi saw di perang Uhud, karena setan telah menggelincirkan aku dan kekhilafanku telah Allah Swt maafkan seperti termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu (perang Uhud), hanya saja mereka digelincirkan oleh setan disebabkan kesalahan yang telah mereka perbuat di masa lampau. Dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kesalahan mereka.” Ali Imran: 155.

Saudaraku..

Hidup di bawah naungan ukhuwah membuat dunia kita menjadi sangat berwarna dan dihiasi lukisan pelangi. Tanpa kehadiran saudara-saudara kita di jalan Allah, maka hidup terasa hampa tak bermakna. Perjalanan hidup terasa berat. Langkah kaki pun teramat kaku untuk diayunkan. Terlebih karena ukhuwah itu akan menyempurnakan kebahagiaan kita di akherat sana.

Persaudaraan Islam merupakan nikmat terbesar yang Allah Swt karuniakan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Karenanya dua suku terbesar di Madinah yang telah bermusuhan selama lebih dari dua ratus tahun yakni Aus dan Khazraj, kembali bersatu dan bersaudara di bawah panji iman. Allah menyebut, hidup di bumi yang kering dari siraman ukhuwah imaniyah adalah seperti orang yang berada di tepi jurang neraka. (lihat; Ali Imran: 103). Sungguh mengerikan.

Bahkan Allah menyebut, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” Al Hujurat: 10.

Artinya ukhuwah menjadi tolok ukur keimanan kita. Baik buruknya iman kita, berbanding lurus dengan baik buruknya ukhuwah yang kita bingkai dalam kehidupan kita.

Salah satu racun ukhuwah, yang dapat melepaskan ikatan persaudaraan Islam dari kehidupan kita adalah su’uzhan, berburuk sangka kepada orang lain. Dan dari sikap su’uzhan akan melahirkan tajassus (mengintai kesalahan dan kekurangan saudaranya) dan begitu seterusnya ia akan mengalirkan dosa-dosa lainnya.

Apa yang dilakukan oleh Abu Ubaidah terhadap Utsman, bukan karena ia merasa dirinya lebih baik dari menantu Nabi saw itu. Bukan pula karena ia merendahkan kwalitas amal shalihnya. Tidak pula dipicu oleh perasaan su’uzhan terhadapnya.

Tapi lebih kepada sapaan ukhuwah. Tegur sapa dari seorang saudara yang mencintainya karena Allah Swt. Didasari perasaan ingin selalu berdekatan dengan sahabat yang dikenal dengan rasa malunya yang besar sehingga para malaikat pun malu terhadapnya. Lebih kepada at tasabuq fil khairat, berlomba-lomba mengukir prestasi kebaikan. Lebih kepada mengenang momentum kebaikan yang tak terlupakan dalam hidup.

Oleh karena itu, jika ada salah seorang saudara kita, yang terlambat menghadiri pengajian rutin pekanan atau bahkan tak muncul hingga acara kelar. Atau mereka terlambat membayar hutang. Atau ada yang terlambat nikah dan seterusnya. Kita tidak boleh ber-su’uzhan terhadap mereka. Hindari prasangka dan sempatkan waktu untuk klarifikasi. Barang kali ada persoalan yang membutuhkan uluran tangan dari kita untuk memecahkan masalahnya.

Saudaraku..

Terkait dengan harga BBM yang akan dinaikan oleh pemerintah beberapa hari ke depan sementara rakyat menjerit dalam kemiskinan. Atau tertangkapnya anak pejabat yang mengkonsumsi narkoba. Atau salah seorang Kapolsek yang tertangkap basah sedang menikmati sabu-sabu. Atau terdeteksinya rekening gendut PNS, badai kemelut yang terus menerpa PSSI dan kasus-kasus lainnya. Apakah kita dilarang su’uzhan dalam persoalan ini? Tampaknya itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Wajah gelap yang menyelimuti negeri kita di area dan wilayah basah. Bisa jadi bukan lagi masuk dalam bab prasangka.

Saudaraku..

Apa yang dapat kita kenang dari prestasi kebaikan kita? Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: Status Ustadz Abu Ja’far

Tidak ada komentar: